Saat ini di lahan hutan KPH Blora sudah ada
sekitar 250 hektar tanaman ketela yang ditanam oleh masyarakat yang tergabung
dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) setempat.
“Selain ketela pohon, masyarakat bisa menanam
tanaman produktif lainnya dilahan hutan asalkan tidak menyalahi aturan yang
ada,” ungkap Administratur KPH Blora Joko Sunarto.
Menurutnya, saat ini masyarakat lebih banyak
menanam ketela pohon, tetapi saat panen mereka terkendala dengan harga yang
sangat rendah, sebab harga ketela saat ini ditentukan oleh tengkulak dan petani
mau tidak mau harus menjual ketelanya kepada tengkulak.
Tanaman ketela dikembangkan di lahan perhutani
sebenarnya tidaklah diperbolehkan sebab ketela bisa menganggu pertumbuhan
tanaman inti milik Perhutani khususnya Jati.
Namun lanjutnya ketela boleh dikembangkan pada
tahun pertama sampai ketiga saja dilahan yang ada. Sebab tahun pertama sampai
ketiga belum mengannggu pertumbuhan tanaman jati. Termasuk juga dengan tanaman
palawija lainnya.
“Setelah tahun ketiga, petani kami larang menanam
ketela lagi, bahkan saat penanaman ketela harus dilakukan pemupukan,” jelasnya
Tanaman ketela merupakan salah satu bentuk
menumbuhkan agroforestry yang ada di hutan, termasuk juga mengembangkan tanaman
lainnya yang bisa ditanam, agar hutan bisa dimanfaatkan untuk agrobisnis bagi
petani, selain kayu jati yang menjadi produk utama Perhutani.
Tanaman yang bisa dikembangkan seperti nanas,
jambu mete, atau duren dan itu bisa ditanam di lokasi tanaman pagar atau tanama
sela yang selama ini ada.
Pasalnya selama ini untuk tanam sela atau pagar
biasanya mahoni atau secang yang tidak produktif.
“Kalau LMDH bisa mengusulkan tanaman itu tentu
akan lebih memberikan nilai ekonomi yang baik sekaligus hutan sebagai
agroforesty yang menjanjikan,” tegas Joko Sunarto.
Jurnalis : Sugie Rusyono
Suara Merdeka Online | 20 Oktober 2013 | 08.20
WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar